Senin, 31 Januari 2011

Suku Dayak Bidayuh

   Suku Dayak Bidayuh adalah salah satu dari tujuh suku besar Dayak di Kalimantan (Murut, Banuaka, Nganju, Iban, Kayan, Ma'anyan, Bidayuh),yang sebagian besar populasinya mencakup wilayah kabupaten Sanggau, Ketapang, dan sebagiannya menyebar di wilayah Sekadau dan Bengkayang. Suku Dayak Bidayuh juga banyak terdapat di daerah Noyan,Kembayan, Sanggau(Kabupaten Sanggau). Di desa Tanjung Merpati, Ngalok, Mobui,Sejuah, Sungai Bun,Tanap, dan desa-desa sekitarnya adalah basis dari bidayuh ini. Ada beberapa ahli yang sempat meneliti asal-mula bidayuh ini. Tapi, tak satupun yang otentik dan menyangkut seluruh sendi kehidiupan masyarakat bidayuh. Menurut Prof. Richard McGinn suku dayak Bidayuh memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan suku dayak Bukar-Sadong. Kedua suku dayak ini memiliki hubungan kekerabatan pula dengan saudaranya suku Rejang di Sumatera. Itulah sebabnya mengapa di Sarawak ada nama sungai Rejang, sedangkan di Sumatera ada nama suku Rejang. Nenek moyang mereka hidup di antara tiga sungai yakni sungai Rejang, sungai Bukar dan sungai Sadong. Mengapa dan bagaimana? saudara suku dayak Bidayuh dan Bukar Sadong, yakni suku Rejang ini ada di Sumatera, masih perlu diteliti lebih lanjut?.
 
Kebanyakan mata pencaharian penduduk adalah berladang berpindah, petani karet, buruh serabutan. Hanya sebagian kecil yang berprofesi sebagai pegawai pemerintah dan pedagang, apalagi pejabat pemerintah. Hanya pada dekade ini ada beberapa putra daerah yang menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan.
Alasan utama mata pencaharian penduduk demikian adalah kurangnya akses ilmu pengetahuan dan teknologi serta minimnya sarana pendidikan disana. Bayangkan, anak-anak mesti berjalan sejauh puluhan kilometer dengan berjalan kaki untuk mencapai akses pendidikan. Tak mengherankan banyak orang tua yang lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan ekonomi daripada pendidikan.

Ada satu hal yang menarik dari kehidupan masyarakat dayak bidayuh. Keadaan alam yang tidak mendukung usaha pertanian disikapi dengan membuka ladang pertanian, untuk kemudian dibakar. hal ini dilakukan untuk menggemburkan tanah. Keadaan alam yang demikian diimbangi dengan aneka tanaman hutan yang bisa dimanfaatkan sebagai makanan terutama buah-buahan. Masyarakat Bidayuh sangat jarang mengkonsumsi sayuran. Makanan sehari-hari adalah nasi dan lauk pauk yang diolah sendiri, dengan bumbu-bumbu khas dayak. Makanan mereka didominasi oleh rasa asin dan asam. Saat musim buah tiba, sebagian besar profesi berubah menjadi petani buah dadakan. Biasanya buah yang dipetik dari hutan dibawa kepasar untuk dijual. Mereka telah mengenal uang seperti halnya kita.

Minggu, 30 Januari 2011

Kesenian Suku Dayak

Suku Dayak adalah penduduk asli Kalimantan. Di masa lalu, suku ini mendiami pesisir dan tepi-tepi sungai. Populasinya sangat besar, terdiri dari 6 suku dan 405 subsuku kecil yang tersebar di berbagai tempat.
Penamaan suku merujuk pada nama daerah, sungai, pahlawan, dan sebagainya. Misalnya, suku yang tinggal di sekitar Sungai Batang Lupar dinamai suku Batang Lupar, suku yang tinggal di daerah Bukit Bawang dinamai suku Bukit. Sementara itu, suku Dayak Mualang merujuk pada nama pahlawan Mualang (Manok Sabung) yang terkenal di daerah Tampun Juah.
Bentuk kesenian suku Dayak tidak bisa dilepaskan dari sejarah sosiologisnya. Berawal dari masyarakat primitif yang menganut animisme-dinamisme, kebudayaan suku ini berakulturasi dengan kebudayaan kaum pendatang seperti Jawa dan Tionghoa.
Agama yang dianggap lahir dari budaya setempat adalah Kaharingan. Pengaruh kuat agama Hindu dalam proses akulturasi ini menyebabkan Kaharingan dikategorikan ke dalam cabang agama tersebut. Dalam perkembangan berikutnya, ada akulturasi budaya Islam pengaruh Kesultanan Banjar di pusat kebudayaan suku Dayak.
Meskipun begitu, sebagian masyarakat Dayak tergolong teguh memegang kepercayaan dinamismenya. Untuk kelompok ini, sebagian besar memutuskan untuk memisahkan diri dan masuk semakin jauh ke pedalaman.
Macam-macam Kesenian Suku Dayak
Kebudayaan suku Dayak yang khas membentuk estetika yang tercermin dalam budaya dan keseniannya, meliputi seni tari, seni musik, seni drama, seni rupa, dan sebagainya.
1. Seni Tari
Banyaknya suku dan subsuku Dayak menimbulkan beragamnya seni tari tradisional. Secara garis besar, berdasarkan vocabuler tari, bisa diklasifikasikan menjadi 4 kelompok.
  1. Tarian dengan gerak enerjik, keras dan staccato, adalah ciri kelompok tari Kendayan, yang dimiliki oleh suku Dayak Bukit, Banyuke, Lara, Darit, Belangin, Bakati, dan lain-lain, di sekitar Pontianak, Landak, dan Bengkayang.
  2. Tarian dengan gerak tangan membuka, gerakan halus, adalah ciri vocabuler tari Ribunic atau Bidayuh, yang berkembang di kalangan suku Dayak Dayak Ribun, Pandu, Pompakang, Lintang, Pangkodatan, Jangkang, Kembayan, Simpakang, dan lain-lain, di sekitar Sanggau Kapuas.
  3. Tarian dengan gerak pinggul yang dominan adalah ciri tari kelompok Ibanic yang dimiliki suku Dayak Iban, Mualang, Ketungau, Kantuk, Sebaruk, dan sebagainya, di sekitar Sanggau, Malenggang, Sekadau, Sintang, Kapuas, dan Serawak.
  4. Sedikit lebih halus adalah ciri kelompok Banuaka, yang dimiliki oleh suku Dayak Taman, Tamambaloh, Kalis, dan sebagainya, di sekitar Kapuas Hulu.
Di luar kelompok tersebut, masih ada jenis tari yang lain yang belum teridentifikasi.
Sebagian besar tari Dayak adalah tari ritual upacara sesuai dengan agama Kaharingan. Misalnya, tari Ajat Temuai Datai. Tarian ini populer di kalangan Dayak Mualang dan berfungsi sebagai upacara penyambutan terhadap pahlawan yang pulang mengayau.
Di masa lalu, mengayau berarti pergi membunuh musuh, namun sekarang mengalami pergeseran makna. Mengayau berarti 'melindungi pertanian, mendapatkan tambahan daya jiwa, dan sebagai daya tahan berdirinya suatu bangunan'.
Beberapa contoh tari yang lain, misalnya sebagai berikut.
  • Tari Gantar, untuk upacara menanam padi.
  • Tari Kancet Papatai atau tari Perang, untuk upacara penyembahan kepada arwah leluhur.
  • Tari Kancet Lasan adalah tari pemujaan terhadap dewa yang diwujudkan dalam bentuk burung enggang.
  • Tari Serumpai adalah tari untuk menolak wabah penyakit.
  • Tarian Belian Bawo adalah tarian untuk mengobati orang sakit.
  • Tari Kuyang adalah tarian untuk mengusir hantu.
  • Tarian Datun, adalah tarian syukur atas kelahiran.
2. Seni Musik
Tidak jauh beda dengan seni tari, seni musik suku Dayak didominasi musik-musik ritual. Musik itu merupakan alat berkomunikasi dan menyampaikan pesan kepada roh-roh.
Beberapa jenis alat musik suku Dayak adalah prahi, gimar, tuukng tuat, pampong, genikng, glunikng, jatung tutup, kadire, klentangan, dan lain-lain.
Masuknya Islam memberi pengaruh dalam seni musik Dayak, dengan dikenalnya musik tingkilan dan hadrah. Musik Tingkilan menyerupai seni musik gambus dan lagu yang dinyanyikan disebut betingkilan yang berarti 'bersahut-sahutan'. Dibawakan oleh dua orang pria-wanita dengan isi lagu berupa nasihat, pujian, atau sindiran.
3. Seni Drama
Drama tradisional ditemukan pada masyarakat Kutai dalam bentuk kesenian Mamanda. Drama ini memainkan lakon kerajaan dan dimainkan dalam upacara adat seperti perkawinan atau khitanan. Bentuk pementasannya menyerupai ludruk atau ketoprak.
4. Seni Rupa
Seni rupa Dayak terlihat pada seni pahat dan patung yang didominasi motif-motif hias setempat yang banyak mengambil ciri alam dan roh dewa-dewa dan digunakan dalam upacara adat. Ada macam-macam patung dengan ragam fungsi, di antaranya sebagai berikut.
  1. Patung azimat yang dianggap berkhasiat mengobati penyakit.
  2. Patung kelengkapan upacara.
  3. Patung blontang, semacam patung totem di masyarakat Indian.
Selain itu, seni rupa Dayak terlihat pada seni kriya tradisional seperti kelembit (perisai), ulap doyo (kain adat), anjat (tas anyaman), bening aban (kain gendongan), seraong (topi), dan lain-lain.
Kesenian suku Dayak adalah bagian dari kekayaan budaya Nusantara yang layak dibanggakan.

Sabtu, 29 Januari 2011

Sistem Kepercayaan Orang Dyak

Masyarakat Dayak memiliki keyakinan tentang wujud tertinggi dimana segala kekuatan yang ada di jagad raya berasal dari Yang Tunggal. Wujud tertinggi itu menguasai manusia, dewa, roh halus, dan roh leluhur. Dewa dan roh halus diberi tugas untuk menjaga dan menguasai suatu tempat tertentu dalam dunia ini, sehingga untuk mewujudkan keyakinan tersebut, orang Dayak senantiasa melakukan hubungan religius dengan Jubata, roh leluhur, dan roh halus yang banyak memberikan pertolongan dalam kehidupan mereka.

Sistem kepercayaan atau agama asli bagi masyarakat Dayak Kanayatn tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai kehidupan mereka. Kepribadian, tingkah laku, sikap, perbuatan dan kegiatan sosial sehari-hari dibimbing, didukung, dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan dan ajaran agama, tetapi juga dengan nilai budaya dan etnisitas. Kompleksitas kepercayaan tersebut berhubungan erat dengan tradisi dalam masyarakat yang mengandung dua hal prinsip, yaitu (1) unsur kepercayaan nenek moyang yang menekankan pada pemujaan, dan (2) kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa dengan kekuasaan tertingginya sebagai kausa prima dari kehidupan manusia.Sistem kepercayaan seperti ini mengandung emosi religius yang merupakan unsur kesatuan dan memerlukan penegasan yang direalisasikan dalam bentuk upacara tersebut.

Kebanyakan orang Dayak tidak mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa (zaman dulu), namun sikap keyakinannya tidak dapat dikategorikan dalam animisme, sebab agama justru berkembang dari asumsi dasar bahwa di dalam alam terdapat daya hidup atau kekuatan hidup dalam benda-benda tertentu atau gejala-gejala alam, seperti sungai yang mengalir deras dan bergemuruh, gunung yang tinggi, pohon besar, matahari yang bersinar terang, kilat dan petir yang menyambar dahsyat. Daya hidup atau kekuatan penghidup itulah yang dinamakan roh. Roh itu kemudian dihubungkan dengan benda-benda dan kemudian dipuja. Alam dipandang sebagai suatu kekuatan yang mengerikan, sekaligus mempesonakan. Keindahannya bukan pertama yang diperhatikan, melainkan kedahsyatan dan kekuasaan tertinggi yang terkandung dalam fenomena alam tersebut.

Bahasa untuk komunikasi yang dipakai pertama-tama adalah lambang-lambang suara dan bunyi-bunyian, seperti musik dan mantra. Maksud lambang-lambang itu sama dengan lambang bahasa, yaitu untuk mengenal, mengidentifikasi, menjinakkan dan menguasai dunia luar yang dahsyat tadi.Melalui bahasa simbol itu masyarakat menginterpretasikan hubungan dan eksistensi dunia gaib yang dipercaya ada untuk dapat dipahami dan diungkapkan maknanya dalam kehidupan di alam nyata.

Selain benda dan gejala alam ada pula benda yang tidak dianggap oleh orang Dayak sebagai daya penghidup, melainkan hanya sebagai sarana penampakan roh, kekuatan gaib, atau sebagai tempat keramat. Manusia menjadi sadar terhadap keberadaan yang sakral, karena yang sakral memanifestasikan dirinya, menunjukkan dirinya sebagai sesuatu yang berbeda secara menyeluruh dari yang profan. Hal ini dinamakan hierophany, yakni sesuatu yang sakral menunjukkan dirinya kepada manusia. Dari sini dapatlah dikatakan bahwa sejarah agama-agama dari primitif hingga yang paling tinggi dibentuk oleh sebagian besar hierophany, yaitu oleh manifestasi-manifestasi realitas-realitas yang sakral tadi. Misalnya yang sakral dapat mewujud dalam empaguk. Empaguk itu tidak disembah, tetapi empaguk menunjukkan dirinya sebagai suatu yang sakral dan realitas ini dirubah menjadi realitas supranatural. Bagi mereka yang mempunyai pengalaman religius, setiap benda mempunyai kemampuan untuk menjadi perwujudan kesakralan kosmik. Bahkan kosmos ini dalam keseluruhannya dapat menjadi hierophany.Mereka tidak menyembah empaguk tetapi melihat hierophany atau realitas-realitas sakral dalam empaguk tersebut.

Setiap benda atau beberapa benda tertentu dianggap mempunyai suatu kesakralan yang dapat berpengaruh dalam kehidupan manusia. Kekuatan sakral tersebut dapat pula digunakan untuk membantu beberapa kegiatan atau pekerjaan manusia, seperti digunakan balian (dukun) untuk memanggil roh halus yang kemudian digunakan untuk membantunya dalam ritual pengobatan. Kekuatan-kekuatan seperti ini merupakan sebagian dari hierophany yang dimaksud.

Masyarakat Dayak menyebut Tuhan Yang Maha Kuasa dengan sebutan Ene’ Daniang (sebagian masyarakat Dayak di Kalbar)atau Jubata, yakni penguasa jagad raya beserta isinya. Jubata berada di langit ketujuh. Ia mempunyai enam bawahan, yaitu; Ne’ Pangedaong, Ne’ Patampa’ yang dipercaya membuat patung-patung dari tanah liat bentuk menyerupai manusia. Ne’ Amikng dan Ne’ Pamijar yang memberi napas kepada manusia. Ne’ Taratatn memberi kesegaran jasmani maupun rohani. Ne’ Pangingu memberikan berkat perlindungan, sedangkan Ne’ Pajaji dipercaya yang menjadikan manusia berbudi dan memelihara hidupnya sampai pada semua keturunannya.Menurut kisah penciptaan nama-nama bawahan itu adalah nama lain dari Jubata, maksudnya satu pribadi pencipta dengan beberapa nama atau satu nama dengan berbagai sifat-sifat kekuasaanNya. Hal ini sama hal nya dengan nama Allah dalam agama Islam yang mempunyai 99 nama sesuai dengan kekuasaan dan kesempurnaannya.

Masyarakat Dayak meyakini dunia ini terbagi menjadi tiga bagian. Pertama adalah Dunia Atas, yaitu dunia yang ditempati oleh Jubata, dukun, dan nenek moyang yang meninggal sebagai pahlawan. Kedua adalah Dunia Tengah atau dunia fana yang ditempati manusia. Ketiga adalah Dunia Bawah yang dihuni oleh roh orang mati. Dunia Bawah ini merupakan sebuah dunia yang tidak dikenal, terisolasi, dan gelap. Setelah meninggal, setiap manusia kecuali dukun dan nenek moyang yang meninggal sebagai pahlawan akan menuju dan tinggal disitu selama-lamanya. Begitu juga dengan sumangat (jiwa) orang yang meninggal, ia tidak akan pernah kembali kekehidupan manusia dan tidak pernah pergi kemana-mana. Namun hal tersebut tergantung apakah waktu meninggal orang yang bersangkutan sudah melewati upacara adat kematian atau belum.

Masyarakat Dayak Kanayatn mempercayai adanya setan atau iblis yang disebut Pantokng Bangok Pilas Galikng. Mereka mempercayai jiwa orang jahat akan bangkit dari kuburnya dan menghantui orang yang masih hidup. Hantu semacam ini biasanya dapat menjelma dalam rupa binatang dan manusia, maka untuk menghindari gangguan roh jahat tersebut biasanya mereka memberinya dengan berbagai macam makanan atau sesaji, seperti lamang (ketan), tumpi’ (cucur), minuman, daging babi dan ayam, telur, nasi dan lain sebagainya.

Sebagian besar masyarakat Dayak Kanayatn saat ini memeluk agama Katolik dan Protestan. Sejak tahun 1835 agama Kristen Protestan masuk ke Kalimantan, yaitu di Tangguhan dekat Mandumai, Kalimantan Tengah. Agama ini disebarkan oleh seorang misionaris berkebangsaan Jerman bernama Barnstein ke masyarakat Dayak.Selanjutnya agama tersebut berkembang sampai ke Kalimantan Barat dan dianut sebagian masyarakat Dayak yang bermukim di muara sungai Kapuas dan daerah pedalaman.

Penyebaran agama Kristen Katolik di Kalimantan Barat dimulai tahun 1894 oleh seorang misisonaris utusan dari Vatikan, Roma, tepatnya di daerah Sejiram. Penyebaran ini diperluas ke tempat-tempat yang banyak dihuni orang Dayak. Bukti penyebaran agama tersebut dapat dilihat dengan berdirinya Sekolah Seminari St Paulus, Yayasan Misi Nyarumkop. Sekolah ini banyak melahirkan barawan-biarawati dan guru-guru agama untuk melanjutkan misi penyebaran agama Katolik pada masyarakat Dayak Kanayatn.

Agama Islam masuk ke Kalimantan Barat sekitar tahun 1521 yang disebarkan oleh Kerajaan Johor. Masuknya agama ini melalui Kerajaan Sambas, tetapi Kerajaan tersebut tidak menyebarkan agama Islam pada suku Dayak, sehingga banyak suku Dayak memeluk agama Kristen dan hanya orang Melayu yang menganut Islam.

Masuknya Islam dalam masyarakat Dayak karena dipengaruhi suku Melayu. Bagi orang Dayak “masuk Melayu” sinonim dengan “masuk Islam”.Oleh karena itu orang Dayak yang sudah menjadi Muslim tidak menamakan diri mereka dengan sebutan Dayak lagi, tetapi dengan sebutan Melayu yang biasanya di sebut orang Halo’ atau Senganan. Selain ketiga agama di atas, di Kalimantan Barat juga terdapat agama Budha yang dianut oleh orang Cina. Masuknya agama ini dimulai pertengahan abad ke 18 tahun 1750. Waktu itu Sultan Mempawah menerima suku bangsa Tiog Hoa (sebutan untuk Cina) dari Brunai untuk menggali emas dan menyebarkan agama Budha. Sampai sekarang agama Budha masih dianut oleh orang-orang Cina yang berada di wilayah tersebut. Begitu juga dengan agama Hindu, meskipun penganutnya sangat sedikit di kalangan orang Dayak, namun agama tersebut mempunyai kedekatan dengan sistem kepercayaan nenek moyang orang Dayak, yaitu Kaharingan atau sering disebut Hindu Kaharingan.

Jumat, 28 Januari 2011

Gawai Dayak

Gawai Dayak

Gawai Dayak Gawai Dayak merupakan satu-satunya peristiwa budaya Dayak yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun di kota Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam gawai, selain acara inti yakni nyangahathn (pembacaan mantra), juga ditampilkan berbagai bentuk budaya tradisional seperti berbagai upacara adat, permainan tradisional, dan berbagai bentuk kerajinan yang juga bernuansa tradisional. Penyajian berbagai unsur tradisional, selama Gawai Dayak, menjadikannya sebagai event yang eksotis di tengah masyarakat perkotaan yang modern.

Gawai Dayak bukanlah peristiwa budaya yang murni tradisional, baik dilihat dari tempat pelaksanaan maupun isinya. Gawai Dayak merupakan perkembangan lebih lanjut dari acara pergelaran kesenian Dayak yang diselenggarakan pertama kalinya oleh Sekretariat Bersama Kesenian Dayak (Sekberkesda) pada tahun 1986. Perkembangan tersebut kuat dipengaruhi oleh semangat upacara syukuran kepada Jubata yang dilaksanakan masyarakat Dayak Kalbar setiap tahun setelah masa panen. Upacara adat syukuran sehabis panen ini dilaksanakan oleh masyarakat Dayak dengan nama berbeda-beda. Orang Dayak Hulu menyebutnya dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bengkayang disebut Maka‘ Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, di Kampung Mendalam, Kabupaten Putus Sibau menyebutnya dengan Dange.

Dalam bentuknya yang tradisional, pelaksanaan upacara pascapanen ini dibatasi di wilayah kampung atau ketimanggungan. Acaranya pun hanya terbatas pada nyangahathn (pelantunan doa/mantra) dan saling kunjung dengan suguhan utamanya seperti: salikat/poe‘ (lemang/pulut dalam bambu), tumpi‘ (cucur), bontokng (nasi yang dibungkus dengan sejenis daun hutan seukuran kue), jenis makanan tradisional yang terbuat dari bahan hasil panen tahunan dan bahan makanan tambahan lainnya. Gawai tradisional pelaksanaannya memakan waktu sampai tiga bulan, yakni sekitar April sampai Juni. Karena itulah, Gubernur Kalbar, Kadarusno mengarahkan agar upacara syukuran ini dilaksanakan pada tanggal 20 Mei setiap tahun. Pada saat ini di beberapa daerah kabupaten acara syukuran ini telah dimodifikasi dan diangkat menjadi acara tingkat kabupaten. Selain liputan wilayahnya diperluas, acaranya pun ditambah dengan penampilan berbagai tradisi Dayak yang ada di daerah yang bersangkutan, dan daerah lainnya yang bersedia mengikuti acara tersebut. Di tingkat provinsi acara yang sama disebut Gawai Dayak atau Upacara Adat Gawai Dayak.

Asal Mula Kata Ngayau

Etimologi dan Asal Usul Ngayau

Asal usul kata ngayau umumnya terdapat kesepakatan di kalangan suku Dayak. Namun, kapan ngayau dimulai dan bagaimanakah sejarahnya, agaknya masih simpang siur dan sering muncul dalam berbagai versi.

Hal itu disebabkan belum ada studi dan catatan sejarah mengenai asal mula ngayau secara detail dan kronologis. Hanya ada catatan mengenai kesepakatan bersama seluruh etnis Dayak Borneo untuk mengakhirinya. Ini terjadi pada pada 22 Mei - 24 Juli 1894, ketika diadakan Musyawarah Besar Tumbang Anoi di Desa Huron Anoi Kahayan Ulu Kalimantan Tengah.

Benar adanya bahwa sebelum perjanjian Tumbang Anoi disepakati, terjadi praktik headhunting bahkan di kalangan sesama Dayak. Praktik ngayau antarsesama Dayak ini sukar dibantah dan memang demikianlah adanya. Dayak Jangkang misalnya, dahulu kala bermusuhan dengan Dayak Ribunt. Padahal, keduanya tidak berjauhan tempat tinggal.

Apakah faktor yang menyebabkan pengayauan antarDayak ini terjadi?

Saling mengayau di antara sesama Dayak, sejatinya bukanlah semata-mata mencari kepala musuh sebagai tanda bukti kekuatan dan kebanggaan sebagaimana selama ini dipersepsikan banyak orang. Alasan ini terlampau sederhana! Lebih dari itu, dilatari juga oleh nafsu balas dendam dan sebagai cara mempertahankan diri: menyerang lebih dulu sebelum diserang. Ini mirip dengan pepatah Latin si vis pacem, para bellum (jika Anda menginginkan damai, siap sedialah untuk perang).

Masuknya agama Katolik di tengah-tengah etnis Dayak, terutama dengan datangnya misi Katolik ke pulau Borneo di pengujung abad 18, membawa pengaruh baik. Perlahan-lahan ajaran Katolik tentang balas dendam (mata ganti mata, gigi ganti gigi) merasuk dalam hidup orang Dayak.

Ajaran Kristen yang radikal untuk tidak balas dendam dengan hukum “mata ganti mata, tulang ganti tulang” segera merasuk etnis Dayak. Ajaran cinta kasih ini menyadarkan masyarakat Dayak untuk segera menghentikan tradisi mengayau ini. Musyawarah ini dihadiri para kepala adat se-Kalimantan yang berkumpul dan bersepakat untuk menghentikan pengayauan antarsesama Dayak. Namun, pertemuan yang berbuah kesepakatan Tumbang Anoi sendiri diprakarsai pemerintah Hindia Belanda.

Ngayau berasal dari kata kayau yang berarti “musuh”. J.U. Lontaan, op.cit. hal. 532. Selanjutnya, untuk mendukung pendapatnya, Lontaan mengutip Alfred Russel Wallage dalam The Malay Archhipelago, 1896: 68, “… headhunting is a custom originating in the petty wars of village with village and tribe with tribe….”

Terdapat berbagai versi etimologi ngayau. Sebagai contoh, Fridolin Ukur dalam buku Tantang Jawab Suku Daya menyebut bahwa ngayau mencari kepala musuh. Sedangkan bagi Dayak Lamandau dan Delang di Kalimantan Tengah, mengayau berasal dari kata “kayau” atau “kayo’; yang artinya mencari. Mengayau berarti men¬cari kepala musuh. Jadi, mengayau ialah suatu perbuatan dan tindak-budaya mencari kepala musuh.

Bai Dayak Jangkang, ngayau juga disebut ngayo. Berasal dari kata “yao” yang berarti: bayang-bayang, mengahantui, meniadakan, atau memburu kepala musuh sebagai prasyarat atau pesta gawai. Ada gawai khusus untuk merayakan kepala musuh dengan tarian perang, yakni gawai naja bak (pesta kepala).

Namun, serta merta perlu diberikan catatan pada apa yang disebutkan perbuatan dan tindak-budaya ini. Kedengarannya aneh di telinga untuk saat ini. Namun, jika menyelami keyakinan etnis Dayak lebih mendalam maka kita akan segera menjadi mafhum di balik tradisi mengayau ini.

Ngayau tidak terlepas dari keyakinan komunitas Dayak sebagai sebuah entitas. Hal ini dapat ditelusuri dari cerita lisan dan tradisi yang diturunkan dari mulut ke mulut. Menurut keyakinan yang dipegang teguh, orang Dayak yakin mereka adalah keturunan makhluk langit. Ketika turun ke dunia ini, menjadi makhluk yang paling mulia dan, karena itu, menjadi penguasa bumi.

Keyakinan ini, pada gilirannya, membawa konsekuensi orang Dayak lalu memandang rendah entis lain. Jika menganggu dan mengancam keberadaan dan kelangsungan hidup mereka, etnis lain dapat disingkirkan. Namun, harus ada alasan yang kuat untuk itu. Darah hewan, apalagi manusia, tabu untuk ditumpahkan. Jika sampai terjadi, mereka akan menuntut balas.

Prinsip bahwa mata ganti mata, gigi ganti gigi benar-benar diterapkan. Meski mengalami penyempurnaan dan penyesuaian, sisa-sisa praktik ini “mata ganti mata, gigi ganti gigi” ini masih diteruskan di Jangkang hingga hari ini.

Pasal-pasal hukum adat Kecamatan Jangkang masih terasa kental nuansa penuntutan atas pertumpahan darah ini. Terbukti dari diaturnya secara detail pasal-pasal yang menetapkan pengadilan atas perkara dari mulai yang terkecil kasus pertumpahan darah hingga mengakibatkan kematian, yang dalam bahasa Dayak Jangkang disebut dengan “Adat Pati Nyawa”.

Satuan untuk menghitung ganti atas pertumpahan darah unik, disebut dengan tael. Di masa lampau, menghilangkan nyawa manusia baik sengaja (misalnya tertembak waktu berburu) maupun secara sengaja maka si pelaku akan mengalami kesulitan membayarnya. Seisi keluarga dan sanak saudara akan turut terlibat membantu. Bahkan, bukan tidak mungkin sampai seumur hidup pelaku menunaikan kewajibannya membayar Adat Pati Nyawa.

Apakah Adat Pati Nyawa? Secara harfiah, pati berarti sari atau inti. Kata “pati” kerap muncul dalam bahasa Dayak dengan inisial dan pembagian Djo (lihat Ethnologue: Languages of the World, Fifteenth edition, Dallas, “Djongkang: A language of Indonesia” (Kalimantan) ISO 639-3: djo

Jadi, pati nyawa adalah pengganti nyawa yang hilang. Tentu saja, hukum pati nyawa ini tidak berlaku dalam ngayau. Dan hanya berlaku dalam keadaan normal saja, sebab pekik ngayau haruslah datang dari aump dan merupakan hasil dari permufakatan bersama.

Demikianlah, ngayau pun harus disertai alasan-alasan yang kuat dan masuk akal bagi komunitas Dayak dan harus melalui hasil mufakat bersama. Disebut komunitas, karena suatu kampung biasanya menempati sebuah batang atau rumah panjang. Sebelum melancarkan pengayauan, malam harinya diadakan musyawarah bersama yang dalam bahasa Dayak Jangkang disebut boraump. Semua peserta wajib memberikan pendapat dan penilaian. Keputusan diambil dengan berpangkal tolak pada suara dan pendapat mayoritas.

Patut diberi catatan tambahan bahwa ngayau di kalangan suku Dayak umumnya, dan Dayak Djongkang khususnya, bukan sekadar memanggal kepala musuh. Ada filosofi yang melatarinya. Banyak kandungan hikmah, meski sekilas tampak sadis, di balik itu semua.

Orang luar yang kurang memahami secara mendalam filosofi dan latar di balik tradisi ngayau, sehingga menarik simpulan entimema: orang Dayak biadab, sadis, pemburu kepala manusia, dan headhunting. Tentang labeling bahwa Dayak adalah pemburu kepala manusia ini, Wikimedia bahkan mencatatnya sebagai “budaya” yang semestinya harus serta merta diberikan catatan bahwa itu adalah gambaran Dayak masa lampau. Perjanjian Tumbang Anoi yang difasilitasi Pemerintah Kolonial Belanda menghapuskan budaya ngayau ini. Di beberapa subsuku memang masih berlangsung, namun di Kalbar tradisi mengayau sudah berakhir pada sekitar sejak tahun 1938.

Toh demikian, Wikipedia yang tidak tahu sejarahnya masih mencatat demikian, “Headhunting was an important part of Dayak culture, in particular to the Iban and Kenyah. There used to be a tradition of retaliation for old headhunts, which kept the practise alive. External interference by the reign of the Brooke Rajahs in Sarawak and the Dutch in Kalimantan Borneo curtailed and limited this tradition. Apart from massed raids, the practice of headhunting was limited to individual retaliation attacks or the result of chance encounters. Early Brooke Government reports describe Dayak Iban and Kenyah War parties with captured enemy heads. At various times, there have been massive coordinated raids in the interior, and throughout coastal Borneo, directed by the Raj during Brooke's reign in Sarawak. This may have given rise to the term, Sea Dayak, although, throughout the 19th Century, Sarawak Government raids and independent expeditions appeared to have been carried out as far as Brunei, Mindanao, East coast Malaya, Jawa and Celebes. Tandem diplomatic relations between the Sarawak Government (Brooke Rajah) and Britain (East India Company and the Royal Navy) acted as a pivot and a deterrence to the former's territorial ambitions, against the Dutch administration in the Kalimantan regions and client Sultanates.”

Tidak mengherankan, dalam literatur dan laporan-laporan tertulis pada zaman kolonial, Dayak dicap sebagai suku asli Borneo yang tidak berkeadaban. Meski para peneliti dan ahli antropologi tidak memasukkan Dayak sebagai suku terakhir di Nusantara yang mempraktikkan headhunting, toh stereotipe sebagai pengayau masih melekat kuat minimal hingga kerusuhan etnis terjadi di Sambas pada 19 Januari 1999 di Desa Parit Setia, Kecamatan Jawai, Sambas dan kemudian merambat ke Sampit pada 18 Februari 2001.

Banyak orang melihat pertalian kejadian itu, meski sebenarnya berbeda dalam hal casus belli dan eskalasi. Akan tetapi, satu yang sama: solidaritas di kalangan etnis Dayak tumbuh menghadapi bahaya dari luar. Dalam konteks mempertahankan diri dan melakukan tindakan menyerang lebih dulu sebelum diserang ini, dapat dipahami latar dan filosofi ngayau